Jumat, 07 Agustus 2015

Jebakan dalam Pengambilan Keputusan: Benarkah Pengalaman Merupakan Guru Paling Baik?



Ungkapan bahwa “guru yang terbaik adalah pengalaman” diyakini oleh banyak orang sehingga, sejalan dengan ungkapan ini, kita juga sering mendengar orang mengatakan bahwa orang yang lebih tua mengklaim bahwa mereka telah lebih banyak makan asam garam (baca: pengalaman) dari orang-orang yang lebih muda. 
 
Pemahaman orang tentang perusahaan tidak jauh berbeda. Perusahaan yang sudah berdiri lebih lama dari perusahaan baru diyakini bahwa mereka mempunyai pengalaman yang lebih sehingga seolah-olah perusahaan yang lebih tua usianya mempunyai kemampuan lebih dibanding perusahaan yang relatif lebih baru. Benarkah pemahaman seperti itu?
 
Untuk menjawab pertanyaan di atas tentunya kita tidak bisa serta merta menyimpulkan benar atau salah karena untuk menilai kenyataan ini sebagai sesuatu yang benar atau salah kita harus melihat situasinya dahulu yang tentunya sangatlah kontekstual.
 
Sebuah contoh yang sederhana, bila seorang anak kecil menyentuhkan tangannya ke nyala api lilin dan anak itu kaget merasakan panasnya api maka pada umumnya kita meyakini bahwa anak tersebut telah belajar bahwa api merupakan sesuatu yang mempunyai sifat panas sehingga dengan demikian di kemudian hari anak tersebut tidak akan menyentuhkan tangannya ke api.
 
Contoh lain, seorang anak muda pengendara motor terbiasa melanggar lampu merah atau tanda larangan masuk jalan tertentu. Mengapa? Sebenarnya pada saat sebelum anak muda tersebut melanggar lalu lintas ada proses berpikir, yaitu melanggar atau tidak. Pada awalnya mungkin anak muda tersebut hanya coba-coba melanggar dan ternyata tidak apa-apa alias tidak ada sesuatu yang merugikan baginya, bahkan jika ada polisi pun yang jaga ternyata dia dibiarkan melanggar tanpa ada konsekuensi yang negatif. Alhasil pemuda ini menjadi terbiasa.
 
Cerita
  di atas menggambarkan bagaimana seseorang belajar dari pengalaman terdahulu untuk proses pengambilan keputusan di waktu mendatang. Bagaimana dengan pengambilan keputusan bisnis? apakah halnya akan sesederhana contoh di atas? Apakah benar buat seorang pemasar (marketer) yang punya pengalaman setiap kali menaikkan anggaran iklan sebesar 30% selama 3 tahun berturut-turut dan penjualannya pun berturut-turut meningkat rata-rata 20% akan terjadi lagi di tahun ke-4?
 
Pendekatan dengan menggunakan pengalaman sebagai basis utama terkesan sebagai sesuatu yang masuk akal untuk memutuskan ke depan. Namun, bila hal ini digunakan tanpa memperhatikan situasi yang ada maka hasilnya kemungkinan akan jauh berbeda dari yang diharapkan. Dengan demikian, dalam keputusan bisnis,
  bagaimana respon atas pengalaman kita terdahulu--apakah pengalaman tersebut memang masih bisa dipertimbangkan--akan sangat tergantung pada konteks situasi yang ada.
 
Kenyataan di dunia bisnis
  memang tidak semudah contoh di atas. Mengapa? Kita sebagai pengambil keputusan sering kali akan membenarkan keputusan kita dengan mendasarkan pada fakta lingkungan bisnis yang dipahami oleh kita. Namun demikian, fakta yang sebenarnya sangat mungkin menyimpang atau berbeda dari kenyataan yang sebenarnya yang kita sendiri tidak tahu atau tidak kita pahami dengan baik.
 
Ada beberapa realitas yang ada pada saat kita melakukan proses pengambilan keputusan. Pertama adalah pada saat kita melakukan evaluasi atas keputusan terdahulu kita cenderung melihat apakah hasilnya baik atau tidak. Seringkali kita menyimpulkan jika hasilnya baik maka kita cenderung akan mengatakan bahwa apa yang telah kita pertimbangkan sebelumnya adalah benar. Padahal kenyataannya bisa beda.
 
Bagaimana jika kita gagal? Sering kali kita akan mencari penyebabnya dengan mengeksplorasi lingkungan bisnisnya, apakah ada perubahan pada konsumen atau persaingannya? Kita lupa bahwa bisa jadi prosesnya yang salah dalam pengambilan keputusan. Kita terlalu mengandalkan pengalaman untuk pengambilan keputusan yang sama atau mirip.
 
Realitas yang kedua adalah bahwa sering kali kita sebagai pengambil keputusan terlalu yakin akan pengetahuan atau kemampuan yang kita miliki, yang diperoleh melalui pengalaman. Dalam kasus ini, yang akan terjadi adalah bahwa kita cenderung akan menyalahkan sesuatu di luar diri kita yang seolah-olah di luar kendali kita atau dengan kata lain mencari excuse atau kambing hitam.
 
Dengan kondisi kedua realitas di atas maka yang terjadi adalah bahwa kita tidak banyak belajar dari pengalaman bahkan yang terjadi adalah bahwa kita sebagai pengambil keputusan terjebak dengan pengalaman yang kita punyai.
 
Pengalaman memang penting, tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana kita memanfaatkan pengalaman dalam proses berpikir bukan pengalaman mengerdilkan kita dalam proses sehingga yang terjadi adalah kita terjebak dalam dalam proses pengambilan keputusan yang hanya mengandalkan pengalaman saja.





This is My Life

Aku Laila, aq dilahirkan dari keluarga yang cukup sederhana. Dari kecil aq sudah mulai membantu ibuku untuk mengerjakan pekerjaan rumah karena aq anak perempuan satu-satunya dari empat bersaudara. Orang tuaku adalah seorang wirausaha. Kegiatanku dari SD - SMA diisi dengan belajar, bermain, jalan bareng sama teman-teman dan sampai akhirnya aq lulus sekolah dan memasuki kuliah.

Aku kuliah di salah satu Universitas Swasta dengan lulusan D3. Pada semester akhir aq bekerja di salah satu Bank BUMN sebagai Teller, dan pada saat itu juga aq berkenalan dengan seorang pria yang sekarang menjadi suamiku. Perkenalanku dengannya sangat singkat hingga akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Pada awalnya aq ragu dengan keputusanku ini mengingat pada saat itu umurku bisa dibilang masih muda dan kedua orang tuaku tidak menyetujuinya, tapi aq dan dia berusaha meyakinkan kedua orang tuaku dan semua keluargaku bahwa keputusan yang aku ambil tidak salah. Perjuangan kami lumayan berat, tapi semua kami lalui dengan kesabaran dan pada akhirnya kami disetujui.

Pada pertengahan tahun 2011 kami menikah, dan tidak lama aq hamil, karena pada saat itu status kerjaku masih kontrak maka aq memutuskan untuk resign dan aq fokus pada skripsiku dan kehamilanku. Moment yang lucu dan jarang terjadi adalah aq wisuda disaat usia kehamilanku 8 bulan, coba bayangkan, aq terlihat sangat bulet saat memakai baju toga dan baju kebayaku pun berukuran sangat besar, untunglah tertolong dengan baju toga jadi tidak terlalu kelihatan, hehehe
Dan waktu melahirkanpun tiba, Aq sangat bersyukur karena aq dikaruniai anak kembar. aq sangat sayang kepada mereka. Setelah mereka umur 6 bulan aq memutuskan untuk bekerja kembali. 


Aq sempet putus asa tidak mendapat pekerjaan, karena beberapa Bank tidak menerima karyawan dengan status yang udah menikah. tapi aq tidak mudah menyerah, aq selalu berusaha dan akhirnya aq bekerja di salah satu Bank Swasta.

Aq sempet khawatir, keputusan ku menikah muda dapat menghambat karirku, tapi kekhawatiranku ternyata salah. Bagiku Asal qt ada kemauan dan selalu berusaha, pasti semua akan ada hasilnya.
Sekarang yang sedang aq kejar adalah dapat lulus kuliah dengan lulusan S1, walaupun lelah aq rasakan setiap hari tapi tidak membuatku menyerah untuk mencapai impianku. Karena aq sayang anakku dan keluargaku.



Sudahkah Menjadi Pemimpin Yang Baik


Baca Lah Artikel dibawah ini, mengapa ? karena sebagian orang pasti pernah mengalami hal seperti ini.
Sudahkah Menjadi Pemimpin yang baik . . . ?




Pernahkah Anda membaca sebuah hasil penelitian yang menunjukkan bahwa “People do not leave their job or company, They leave their boss.” Lalu ketika kalimat tersebut di-upload ke social media, banyak sekali orang yang langsung memberikan “jempol” atau “like” atau “love” sebagai tanda mengamini ungkapan tersebut.
Atau malah pernah terlintas dalam benak anda sebagai seorang pemimpin, jangan-jangan salah satu mantan bawahan anda dan juga ada calon mantan bawahan (orang yang berniat resign) adalah salah satu yang memberikan “like” pada uangkapan di atas dan hal itu tentu saja berarti mengarah pada kepemimpinan anda.
Berdasarkan employee engagement survey yang dilakukan oleh PPM Manajemen selama tiga tahun terakhir pada berbagai organisasi swasta dan pemerintahan, ada tiga hal yang dianggap paling penting pengaruhnya terhadap engagement karyawan dibandingkan beberapa faktor lainnya, yaitu: kepemimpinan atasan, suasana kerja, serta remunerasi.
Meskipun remunerasi dinilai penting dalam membuat karyawan engage, namun ketika remunerasi yang baik tidak didukung oleh kepemimpinan atasan yang baik pula, hal tersebut seringkali menjadi alasan bagi seorang karyawan untuk berhenti.
Kerap kali kita terheran-heran dengan keputusan seseorang keluar dari pekerjaannya yang sudah mapan dengan remunerasi yang cukup tinggi, ketika ditanya apa yang membuat mereka memutuskan demikian, jawabannya adalah karena ‘atasan’ atau suasana kerja yang tidak nyaman karena atasan.
Penasaran apakah anda merupakan pemimpin yang dicintai oleh karyawan? Apakah kehadiran anda berpengaruh positif terhadap kinerja tim? Apakah anda sudah berperan sebagai seorang pemimpin atau hanya sebagai bos?
Untuk dapat mengetahui hal tersebut, anda dapat memulainya dengan melakukan self assessment. Menurut penulis buku ‘Cara Pintar Membuat Karyawan Mencurahkan Kemampuan Terbaik untuk Perusahaan’, Martha I Finney, anda dapat bertanya pada diri anda sendiri beberapa hal berikut: 
  • Apakah saya memastikan karyawan saya memahami keterkaitan pekerjaan mereka dengan strategi organisasi?  Apakah saya menginformasikan berita/perubahan yang sedang mempengaruhi organisasi dan karyawan sesegera mungkin?
  • Apakah saya segera memberikan kepastian ketika karyawan menunggu keputusan dari saya?
  • Apakah seluruh tindakan saya mencerminkan nilai-nilai organisasi?
  • Apakah perilaku dan perkataan saya memberi teladan bagi budaya kerja yang sehat dan kolaboratif?
  • Apakah saya merahasiakan masalah-masalah pribadi saya?
  • Apakah saya berbicara hal-hal yang positif tentang karyawan saya kepada rekan kerja lainnya?
  • Apakah saya memperhatikan perkembangan pribadi dan professional karyawan saya?
  • Apakah saya menghargai semua yang karyawan saya lakukan untuk organisasi?
  • Apakah saya menepati janji-janji saya kepada karyawan saya?
Cara lainnya setelah bertanya pada diri sendiri adalah bertanya langsung pada karyawan, hal-hal apa saja yang mereka harapkan dan apa yang menurut karyawan masih kurang dari kepemimpinan anda?
Menurut Robbins, ketika ada ketidakpuasan pada diri karyawan biasanya mereka akan menunjukan empat reaksi yang berbeda, yaitu ada yang memilih diam dan berharap ada perbaikan ke depannya (silent), memilih diam namun semangat kerja menurun (neglect),memilih mencari peluang pekerjaan lain di luar (exit), atau menyampaikan ketidakpuasannya dan mengusulkan perbaikan yang diperlukan (voice).
Rasanya secara normatif banyak pimpinan akan menjawab lebih menyukai reaksi voice. Maka, berhentilah dan berpikirlah sejenak, bayangkan apa yang akan disampaikan oleh karyawan itu. Kira-kira bagaimana reaksi anda sebagai pimpinan terhadap karyawan yang voice.
Tanpa disadari seringkali pimpinan tidak cukup bijaksana menanggapi masukan yang disampaikan oleh karyawannya tersebut. Hal ini kemudian yang membuat karyawan enggan menyampaikan opininya, memilih diam, mulai dari silent atau neglect, dan pada akhirnya exit..
Hal terpenting yang seringkali diharapkan oleh para karyawan terhadap pimpinannya adalah mereka bisa menjadi role model, bisa menjadi teladan. Apa yang diharapkan oleh pimpinan terhadap karyawan, dilakukan terlebih dahulu oleh pimpinan.
Pemimpin yang hebat akan menghasilkan orang-orang yang hebat pula. Meskipun anda tidak bisa memaksakan seorang karyawan untuk tetap bertahan, tapi setidaknya anda tidak menjadi alasan bagi mereka untuk keluar. Pada tingkat yang lebih tinggi anda bisa menjadi inspirasi bagi mereka sehingga mereka akan berkata: saya akan bekerja dimana anda bekerja.
Artikel ini ditulis oleh : Pratiwi, S.TP, M.M. - Core Researcher PPM Manajemen – PPM Consulting

Kenapa artikel ini menjadi salah satu blog aq, karena apa yang dijelaskan di atas pernah aq rasakan dan itu nyata. Semoga artikel ini dapat menjadi bahan penunjuk bagi para pemimpin-pemimpin di perusahaan.

Bahagia Itu Kita Yang Ciptakan


Percaya gak siyh klo kebahagiaan itu kita yang ciptakan sendiri. Mungkin ada orang yang akan mencari kebahagiaannya, meski pengorbanan yang dikorbankan tidak sedikit.
Kebanyakan orang selalu berpikir bahwa yang bahagia itu adalah orang-orang kaya, orang-orang yang mempunyai miliaran duit, orang yang tinggal dirumah mewah, orang-orang yang selalu jalan-jalan ke luar negeri, shopping dan apapun itu. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa semua itu bisa buat kita bahagia secara materiil, namun siapa sangka dibalik semua itu ada sesuatu hal yang kita tidak ketahui.
Apakah orang yang mempunyai duit berlimpah selalu diselimuti dengan kebahagiaan ? apakah orang yang selalu jalan-jalan ke luar negeri dn shopping selalu bahagia ? Semua itu tergantung dari masalah kehidupannya, bisa saja orang yang mempunyai duit banyak, tetapi mempunyai istri lebih dari 1 atau lebih dari 2, atau mungkin duit yang dihasilkan adalah duit haram, dirumah selalu bertengkar dengan istri/suaminya dll. Bisa saja orang yang selalu jalan-jalan ke luar negeri atau shopping, hanya untuk melampiaskan kekesalannya, kejenuhannya, kebosanannya entah dalam pekerjaan, rumah tangga, pertemanan atau persahabatan bahkan percintaan. Itulah perjalanan hidup dan kita sendiri yang memilih dan menentukan. Apakah kita akan memilih untuk bersedih atau kita memilih untuk bahagia dalam hidup kita. Semua itu kita yang menentukan dan kita yang ciptakan.
Mengapa kita yang ciptakan, karena kebahagiaan itu hadir bagi orang yang selalu bersyukur, orang yang selalu menikmati tiap-tiap kehidupannya, Orang yang tidak pernah mengenal putus asa, dan orang yang selalu menerima keadaan dengan senyuman.
Bahagia itu datang, jika rasa dan karsa menjadi satu kesatuan yang selalu disyukuri dan dinikmati.
Bahagia itu datang, jika kita nyaman dengan orang-orang yang ada disekeliling dan lingkungan disekitar kita.
Jadi belajarlah untuk ciptakan kebahagiaan itu, mulai dari rasa syukur dan kenyamanan dalam bersosial baik dirumah, dikantor dan disekolah/ dikampus.